MAKALAH

MAKALAH PENDIDIKAN KARAKTER


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Pendidikan Karakter Siswa anak didik dimana setiap manusia yang terlahir ke dunia merupakan anugrah dan setiap manusia menyandang potensinya masing-masing. Ia akan menjadi manfaat atau tidak untuk dirinya sendiri dan lingkungannya tergantung perlakuan yang diterima dirinya. Kualitas kemanusiaan sangat bergantung dari pendidikan yang diberikan. Semakin berkualitas pendidikan yang diberikan, akan semakin berkualitas pula kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan.
Disini peran guru bukan sekadar mentransfer pelajaran kepada peserta didik. Tapi lebih dari itu guru bertanggung jawab membentuk karakter peserta didik sehingga menjadi generasi yang cerdas, saleh, dan terampil dalam menjalani kehidupannya. Inilah tugas guru yang amat strategis dan mulia.
Apalagi dewasa ini kehadiran guru sebagai pendidik semakin nyata menggantikan sebagian besar peran orang tua yang notabene adalah pengemban utama amanah Tuhan Yang Maha Esa. Dengan berbagai sebab dan alasan, orang tua telah menyerahkan bulat-bulat tugas dan tanggungjawabnya kepada guru di sekolah dengan berbagai keterbatasannya.
Menyadari hal itu, dalam makalah ini penulis mengambil judul “Keteladanan Guru dan Pendidikan Berkarakter“. Karenanya, di pundak guru terletak salah satu beban untuk merestorasi karakter dan kepribadian mulia bangsa Indonesia yang telah berada pada titik nadir. Guru diharapkan bisa mengembalikan peradaban bangsa yang tinggi, yang selama ini telah tergantikan dengan julukan bangsa yang korup, tidak memiliki kepribadian, bangsa yang kacau, bodoh, anarkis dan banyak atribut jelek lainnya yang kini melekat pada bangsa tercinta ini.

B.     Tujuan Makalah
1.      Menjelaskan  pengertian karakter siswa.
2.      Memaparkan tujuan dari pendidikan karakter.
3.      Menjelaskan tentang keteladanan guru dalam pendidikan berkarakter.

C.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter siswa?
2.      Apakah tujuan dari pendidikan berkarakter?
3.      Bagaimana hubungan keteladanan guru dan pendidikan berkarakter?
4.      Mengapa pembelajaran modeling dibutuhkan pada pembelajaran berkarakter?
5.      Bagaimana menjadi guru yang teladan dalam pendidikan berkarakter?

D.    Batasan Makalah
Dalam makalah ini akan mengurai upaya Keteladanan Guru dalam pendidikan berkarakter. Kupasan selengkapnya mencakup pengertian pendidikan karakter siswa, tujuan pendidikan berkarakter, hubungan keteladanan guru dan pendidikan berkarakter, pembelajaran modeling dan cara menjadi guru teladan dalam pendidikan berkarakter.



BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Pendidikan Karakter Siswa
Menurut Ratna Megawangi (2007), pendidikan karakter siswa adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, dan acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands. Dengan demikian, kurang tepat jika menganggap pendidikan karakter hanya urusan mata pelajaran agama atau PKN. Pendidikan karakter melekat pada mata pelajaran apapun. Bahkan, rasanya tidak adil jika pendidikan karakter hanya dibebankan dan menjadi tanggung jawab institusi sekolah.
Pendidikan karakter siswa harus bermula dan ditanamkan dari lingkungan keluarga, sebab keluarga adalah fondasi utama pendidikan. Betapa pun baiknya pendidikan formal di sekolah, betapa pun sudah didukung oleh perangkat teknologi canggih, jika tidak didukung oleh lingkungan keluarga yang baik, hasilnya tidak akan memuaskan. Keluarga adalah basis terkecil dari kehidupan bermasyarakat. Pendidikan dalam keluarga harus ditopang juga oleh lingkungan dan masyarakat yang sehat, serta didukung oleh pemerintahan yang bersih. Meski terkadang pemerintahan yang bersih masih menjadi utopia. Jika tidak begitu, pendidikan karakter akan sulit untuk direalisasikan dan hanya akan menjadi wacana saja, maka dari itu mari kita mulai sedini mungkin tentang pendidikan karakter siswa.
Pendidikan Karakter Siswa  yang baik, menurut John Luther, lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir semua bakat adalah anugerah. Karakter yang baik tidak dianugerahkan kepada kita. Kita harus membangunnya sedikit demi sedikit dengan pikiran, pilihan, keberanian, dan usaha keras. Karakter memang laksana “otot” yang memerlukan latihan demi latihan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan dan kekuatannya. Oleh karena itu, pendidikan karakter memerlukan proses pemahaman, penanaman nilai, dan pembiasaan, sehingga seorang anak didik dapat mencintai perbuatan baik berdasarkan kesadaran yang timbul dari dirinya. Dalam kaitan inilah kita melihat banyaknya kekeliruan dan kegagalan dalam konsep dan kebijakan pendidikan nasional yang terlalu mengarahkan anak didik untuk semata-mata terampil menjawab soal. Anak dihargai tinggi jika mampu menjawab soal-soal ujian. Mata pelajaran diarahkan untuk latihan kognitif semata dengan menjejalkan informasi sebanyak mungkin kepada para siswa.
Pendidikan karakter siswa bukanlah sebuah proses menghafal materi soal ujian dan teknik-teknik menjawabnya. Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan dan harus berangkat dari kesadaran masing-masing individu. Sebab, segala sesuatu yang berangkat dari kesadaran akan lebih bertahan lama dibandingkan dengan motivasi yang berasal dari luar dirinya.
B.     Tujuan Pendidikan Karakter
Tujuan pendidikan karakter siswa itu sendiri pada hakikatnya tidak hanya menambah pengetahuan, tapi juga secara seimbang harus menanamkan karakter positif terhadap sikap, perilaku, dan tindakan seseorang. Tujuan pendidikan adalah untuk menghasilkan orang yang baik. Siapakah manusia yang baik itu? Yaitu manusia yang mengenal dirinya, lalu ia mengenal Tuhannya. Ia mengenal potensi yang ada pada dirinya dan mampu mengembangkannya. Pendidikan akan menghasilkan manusia paripurna yang dapat memaknai hakikat dirinya sebagai hamba Tuhan dan makhluk sosial. Hal ini dimaksudkan agar manusia yang berpendidikan itu cerdas otaknya sekaligus waras perilakunya.
Pendidikan harus kembali kepada fungsi asalnya, yaitu menanamkan karakter positif warga negara sesuai dengan fungsi pendidikan yang tersurat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menjelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Intinya, karakter warga negara harus ditopang oleh nilai-nilai moral, sehingga akan tercipta kesalehan sosial.

C.     Hubungan Keteladanan Guru dan Pendidikan Berkarakter
Guru sejatinya bukan sembarang pekerjaan, melainkan profesi yang pelakunya memerlukan berbagai kelebihan, baik terkait dengan kepribadian, akhlak, spiritual, pengetahuan dan keterampilan. Peran guru bukan sekadar mentransfer pelajaran kepada peserta didik. Tapi lebih dari itu guru bertanggungjawab membentuk karakter peserta didik sehingga menjadi generasi yang cerdas, saleh, dan terampil dalam menjalani kehidupannya. Inilah tugas guru yang amat strategis dan mulia.
Apalagi dewasa ini kehadiran guru sebagai pendidik semakin nyata menggantikan sebagian besar peran orang tua yang notabene adalah pengemban utama amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dikaruniakan kepadanya. Dengan berbagai sebab dan alasan, orang tua telah menyerahkan bulat-bulat tugas dan tanggung jawabnya kepada guru di sekolah dengan berbagai keterbatasannya. Demikian pula masyarakat yang kontrol sosialnya semakin melemah dan pemerintah yang selama ini lebih menitikberatkan pembangunan di sektor fisik, semuanya ikut mengambil andil terhadap kegagalan pembentukan karakter bangsa.
Menyadari hal ini, pemerintah mulai tahun ajaran 2011/2012 menjadikan pendidikan berbasis karakter sebagai gerakan nasional mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai Perguruan Tinggi termasuk pendidikan nonformal dan informal. Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh menyatakan, ”Pembentukan karakter siswa tidak bisa lepas dari peran guru. Bagaimana manusia Indonesia pada tahun 2045 mendatang (100 tahun Indonesia merdeka), ditentukan bagaimana guru membentuk siswa saat ini” (www.kemdiknas.go.id). Karenanya, di pundak guru terletak salah satu beban untuk merestorasi karakter dan kepribadian mulia bangsa Indonesia yang telah berada pada titik nadir. Guru diharapkan bisa mengembalikan peradaban bangsa yang tinggi, yang selama ini telah tergantikan dengan julukan bangsa yang korup, tidak memiliki kepribadian, bangsa yang kacau, jorok, bodoh, anarkis dan banyak atribut jelek lainnya yang kini melekat pada bangsa tercinta ini.
Kegagalan membentuk karakter bangsa merupakan kesalahan kolektif yang harus dibenahi bersama. Oleh karena itu solusi yang paling tepat untuk mengatasi masalah ini adalah dengan berkomitmen untuk melakukan perbaikan secara kolektif pula. Masing-masing kita harus instrospeksi diri dan berusaha keras untuk mencari solusi guna memperbaiki dan mengembalikan serta meningkatkan karakter positif bangsa. Lakukan yang terbaik yang kita bisa, jangan sibuk mencari kesalahan orang lain. Tapi mari kita mulai dari diri kita, orang terdekat kita dan tugas di bawah tanggung jawab kita. Dan guru adalah salah satu pilar penentu keberhasilan pendidikan karakter.
Dari berbagai asal dan dengan berbagai alasan banyak orang memilih profesi guru. Apapun latar belakangnya, apapun motivasinya, dan apapun alasannya, profesi guru menuntut kompetensi sebagai guru. Guru berkompeten yang diharapkan tentu saja guru yang tidak hanya mengetahui tugas dan tanggung jawabnya, tapi juga harus mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan sebaik mungkin.
Merujuk pada UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, seorang guru harus memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi profesional, pedagogis, personal, dan sosial. Dari keempat kompetensi tersebut, aspek yang paling mendasar untuk menjadi seorang guru yang berkarakter dan layak diteladani adalah aspek kepribadian (personalitas). Karena aspek kepribadian inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya komitmen diri, dedikasi, kepedulian, dan kemauan kuat untuk terus berbuat yang terbaik dalam kiprahnya di dunia pendidikan. Seorang guru harus memiliki kematangan, baik intelektual maupun emosional. Kematangan ini terlihat dari kemampuan bernalar dan bertutur, memberi contoh dan sikap yang baik, mengerti perkembangan anak dengan segala persoalannya, kreatif, inovatif, menguasai materi dan banyak metode pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan, situasi dan intelegensi peserta didik.

D.    Pembelajaran Modelling
Menurut Rani Pardini yang dikutip oleh Adhi, R (2010), ada tiga model guru berdasarkan tingkatan kualitasnya, yaitu guru okupasional, guru profesional, dan guru vokasional.
Guru okupasional adalah sosok guru yang menjalani profesi guru sekadarnya, tanpa kepedulian lebih memerhatikan anak didiknya. Guru professional adalah guru yang memiliki tanggung jawab lebih memenuhi kualifikasi undang-undang dan syarat kompetensi guru sesuai dengan regulasi yang berlaku. Sementara Guru vokasional adalah guru yang menjalani profesinya sebagai sebuah panggilan sehingga menjalani tugasnya dengan penuh antusias, sabar, komitmen, dan terus mengembangkan diri serta profesinya.
Dalam mendidik karakter sangat dibutuhkan sosok yang menjadi model. Model yang dapat ditemukan oleh peserta didik di lingkungan sekitarnya. Semakin dekat model pada peserta didik akan semakin mudah dan efektiflah pendidikan karakter tersebut. Peserta didik butuh contoh nyata, bukan hanya contoh yang tertulis dalam buku apalagi contoh khayalan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Berk yang dikutip oleh Sit, M (2010), prilaku moral diperoleh dengan cara yang sama dengan respon-respon lainnya, yaitu melalui modeling dan penguatan.
Lewat pembelajaran modeling akan terjadi internalisasi berbagai prilaku moral, pro sosial dan aturan-aturan lainnya untuk tindakan yang baik. Demikian pula menurut Social Learning Theory dalam Bandura yang dikutip oleh Hadiwinarto, perilaku manusia diperoleh melalui cara pengamatan model, dari mengamati orang lain, membentuk ide dan perilaku-perilaku baru, dan akhirnya digunakan sebagai arahan untuk beraksi. Sebab seseorang dapat belajar dari contoh apa yang dikerjakan orang lain, sekurang-kurangnya mendekati bentuk perilaku orang lain, dan terhindar dari kesalahan yang dilakukan orang lain.

E.     Cara menjadi Guru Teladan dalam Pendidikan Berkarakter
Guru sebagai uswah atau teladan harus memiliki modal dan sifat-sifat tertentu, diantaranya:
Pertama, Guru harus meneladani Rasulullah Saw sebagai teladan seluruh alam.
Kedua, guru harus benar-benar memahami prinsip-prinsip keteladanan. Mulailah dari diri sendiri. Dengan demikian guru tidak hanya pandai bicara dan mengkritik tanpa pernah menilai dirinya sendiri. Bercermin pada filosofi ”gayung mandi”, dalam mendidik karakter guru jangan seperti gayung mandi. Gayung digunakan untuk mandi bertujuan membersihkan, tapi ia sendiri tidak pernah mandi atau membersihkan dirinya sendiri. Artinya guru harus mempraktikkannya terlebih dahulu sebelum mengajarkan karakter kepada peserta didiknya.
Ketiga, guru harus mengetahui tahapan mendidik karakter. Sekurang-kurangnya melalui tiga tahapan pembelajaran yang penulis istilahkan dengan 3P yaitu: pemikiran, perasaan dan perbuatan.
1.      Tahapan pertama pemikiran; merupakan tahap memberikan pengetahuan tentang karakter. Pada tahapan ini guru berusaha mengisi akal, rasio dan logika siswa sehingga siswa mampu membedakan karakter positif (baik) dengan karakter negatif (tidak baik). Siswa mampu memahami secara logis dan rasional pentingnya karakter positif dan bahaya yang ditimbulkan karakter negatif.
2.      Tahap kedua dalam mendidik karakter ini diistilahkan dengan perasaan; merupakan tahap mencintai dan membutuhkan karakter positif. Pada tahapan ini guru berusaha menyentuh hati dan jiwa siswa bukan lagi akal, rasio dan logika. Diharapkan pada tahapan ini akan muncul kesadaran dari hati yang paling dalam akan pentingnya karakter positif, yang pada akhirnya akan melahirkan dorongan/keinginan yang kuat dari dalam diri untuk mempraktikkan karakter tersebut dalam kesehariannya.
3.      Tahap ketiga perbuatan berperan; pada tahapan ini dorongan/keinginan yang kuat pada diri siswa untuk mempraktikkan karakter positif diwujudkan dalam kehidupannya sehari-hari. Siswa menjadi lebih santun, ramah, penyayang, rajin, jujur, dan semakin menyenangkan, menyejukkan pandangan serta hati siapapun yang melihat dan berinteraksi dengannya.

Keempat, Guru harus mengetahui bagaimana mengimplementasikan pendidikan karakter kepada siswa. Tanamkan pengertian betapa pentingnya "cinta" dalam melakukan sesuatu, tidak semata-mata karena prinsip timbal balik. Ciptakan hubungan yang mesra, agar siswa peduli terhadap keinginan dan harapan-harapan kita serta tumbuhkan rasa sayang terhadap sesama.
Kelima, guru harus menyadari arti kehadirannya di tengah siswa, mengajar dengan ikhlas, memiliki kesadaran dan tanggungjawab sebagai pendidik untuk menanamkan nilai-nilai kebenaran. Mengajar bukan untuk sekadar melepaskan tugas, mengajar karena panggilan jiwa, mengajar dengan cinta, merasa bertanggung jawab terhadap keberhasilan siswa dunia akhirat, dan mampu mengarahkan siswa tentang arti hidup.

Dibutuhkan kerja keras untuk mewujudkan cita-cita mulia ini. Guru harus mampu menjadi modelnya. Kita tidak akan mampu membuat siswa rajin, tepat waktu, bertanggung jawab dan lain sebagainya, jika kita tidak duluan mempraktikkannya.
Negeri ini tidak hanya membutuhkan pendidikan karakter, tapi negeri ini sangat membutuhkan teladan dari pendidik karakter dan teladan dari semua komponen bangsa. Dengan demikian keinginan untuk membentuk generasi Indonesia yang santun, sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan memiliki kepenasaranan intelektual sebagai modal dalam membangun kreatifitas dan daya inovasi dapat terwujud sesuai harapan.


BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Berdasarkan landasan teori dan pembahasan yang terurai ditas maka dapat  disimpulkan sebagai berikut : 
1.      Pendidikan karakter siswa bukanlah sebuah proses menghafal materi soal ujian dan teknik-teknik menjawabnya. Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan dan harus berangkat dari kesadaran masing-masing individu. Sebab, segala sesuatu yang berangkat dari kesadaran akan lebih bertahan lama dibandingkan dengan motivasi yang berasal dari luar dirinya.
2.      Tujuan pendidikan karakter siswa itu sendiri pada hakikatnya tidak hanya menambah pengetahuan, tapi juga secara seimbang harus menanamkan karakter positif terhadap sikap, perilaku, dan tindakan seseorang.
3.      Negeri ini tidak hanya membutuhkan pendidikan karakter, tapi negeri ini sangat membutuhkan teladan dari pendidik karakter dan teladan dari semua komponen bangsa. Dengan demikian keinginan untuk membentuk generasi Indonesia yang santun, sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan memiliki kepenasaranan intelektual sebagai modal dalam membangun kreatifitas dan daya inovasi dapat terwujud sesuai harapan.

B.      Saran
1.         Pendidikan karakter diharapkan menjadi kegiatan-kegiatan diskusi, simulasi, dan penampilan berbagai kegiatan sekolah, untuk itu guru diharapkan lebih aktif dalam pembelajarannya.
2.         Lingkungan sekolah yang positif membantu membangun karakter. Untuk itu benahi lingkungan sekolah agar menjadi lingkungan yang positif.
3.         Guru diharapkan, disiplin terlebih dulu,pasti siswa akan mengikuti disiplin juga.

DAFTAR PUSTAKA
Degeng, S Nyoman,1989,Taksonomi Variabel , Jakarta, Depdikbud.
Joni, T. Raka. 1996. Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Dirjen Dikti Bagian Proyek PPGSD.
Nurhadi, Burhan Yasin, Agus Genad Senduk, 2004, Pendekatan Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK, Malang,Universitas negeri Malang.
Trianto, 2009, Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher.
http://eka93.student.umm.ac.id/2011/07/30/keteladanan-guru-dan-pendidikan-berkarakter/











MAKALAH PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Selama rentang kehidupan manusia, telah terjadi banyak pertumbuhan dan perkembangan dari mulai lahir sampai dengan meninggal dunia. Dari semua fase perkembangan manusia tersebut, salah satu yang paling penting dan paling menjadi pusat perhatian adalah masa remaja. Para orang tua, pendidik dan para tenaga profesional lainnya mencoba untuk menerangkan dan melakukan pendekatan yang efektif untuk menangani para remaja ini. Masa remaja yang dimaksudkan merupakan periode transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa. Batasan usianya tidak ditentukan dengan jelas, sehingga banyak ahli yang berbeda dalam penentuan rentang usianya. Namun, secara umum dapat dikatakan bahwa masa remaja berawal dari usia 12 sampai dengan akhir usia belasan ketika pertumbuhan fisik hampir lengkap.
Salah satu pakar psikologi perkembangan Elizabeth B. Hurlock (1980) menyatakan bahwa masa remaja ini dimulai pada saat anak mulai matang secara seksual dan berakhir pada saat ia mencapai usia dewasa secara hukum. Masa remaja terbagi menjadi dua yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir.
B.     Rumusan Permasalahan
1.      Apa yang dimaksud dengan remaja?
2.      Bagaimana pendapat para ahli mengenai remaja?
3.      Bagaimana aspek-aspek perkembangan pada masa remaja?
4.      Kapan kah kisaran usia dari perkembangan anak periode remaja tengah dan remaja akhir?
5.      Bagaimanakah cirri-ciri dari remaja?
6.      Bagaimanakah Karakteristik Perkembangan Emosi Remaja?
C.    Tujuan  penulisan
1.      Memaparkan pengertian remaja.
2.      Memaparkan pengertian remaja menurut pendapat para ahli.
3.      Menjelaskan aspek-aspek perkembangan remaja.
4.      Menjelaskan kisaran usia,cirri-ciri dan karakteristik perkembangan emosi remaja.
D.    Metode Penulisan
1.      Kepustakaan
2.      Observasi
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Remaja
Remaja atau adolescence berasal dari kata Latin adoloscere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”.
Istilah adolescence, seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, social, dan fisik. Pandangan ini diungkapkan oleh Paget (1211) dengan mengatakan : “Secara psikologis, masa remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak…..Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber….Termasuk juga perubahan intelektual yang mecolok….Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan social orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini”.
Menurut WHO, yang disebut remaja adalah mereka yang berada pada tahap transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa, yaitu mereka yang berumur 10-19 tahun (Depkes, 1993). Masa remaja adalah masa peralihan dari anak ke dewasa baik secara jasmani maupun rohani. Tahapan ini sangat menentukan bagi pribadi remaja dimana terjadi perubahan besar dan cepat dalam proses pertumbuhan fisik, kognitif dan psikososial/tingkah laku. Perubahan fisik/jasmani seperti berat badan, ukuran anggota badan dan sebagainya; serta perubahan yang lain seperti berfikir/kecerdasan, bertingkah laku, perasaan/kejiwaan yang berjalan secara bertahap sesuai dengan umurnya (BKKBN, 2000).

            Menurut pendapat para ahli remaja yaitu:
1.      Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990). Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Papalia dan Olds (2001) tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence).
2.      Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.

3.      Menurut Adams & Gullota (dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa.
4.      Anna Freud (dalam Hurlock, 1990) berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.

B.     Aspek-aspek Perkembangan pada masa remaja
1. Perkembangan  fisik
Yang dimaksud dengan perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik (Papalia & Olds, 2001).Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi.Tubuh remaja mulai beralih dari tubuh kanak-kanak yang cirinya adalah pertumbuhan menjadi tubuh orang dewasa yang cirinya adalah kematangan.Perubahan fisik otak sehingga strukturnya semakin sempurna meningkatkan kemampuan kognitif (Piaget dalam Papalia dan Olds, 2001).
2. Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan bahasa.Piaget (dalam Papalia & Olds, 2001) mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak.Piaget menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal (dalam Papalia & Olds, 2001).
3. Perkembangan kepribadian dan social
Yang dimaksud dengan perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik; sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang lain (Papalia & Olds, 2001). Perkembangan kepribadian yang penting pada masa remaja adalah pencarian identitas diri. Yang dimaksud dengan pencarian identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Erikson dalam Papalia & Olds, 2001).
C.    Tahun-tahun Remaja

Pada umumnya masa remaja dapat dibagi dalam 2 periode yaitu:

1. Periode Masa Puber usia 12-18 tahun
a. Masa Pra Pubertas: peralihan dari akhir masa kanak-kanak ke masa awal pubertas. Cirinya:
·         Anak tidak suka diperlakukan seperti anak kecil lagi
·         Anak mulai bersikap kritis
b. Masa awal remaja usia 14-16 tahun: masa remaja awal. Cirinya:
·         Mulai cemas dan bingung tentang perubahan fisiknya
·         Memperhatikan penampilan
·         Sikapnya tidak menentu/plin-plan
·         Suka berkelompok dengan teman sebaya dan senasib
c. Masa tengah remaja usia 17-18 tahun: peralihan dari masa pubertas ke masa adolesen. Cirinya:
·         Pertumbuhan fisik sudah mulai matang tetapi kedewasaan psikologisnya belum tercapai sepenuhnya
·         Proses kedewasaan jasmaniah pada remaja putri lebih awal dari remaja pria
3.      Periode Remaja Adolesen usia 19-21 tahun
Merupakan masa akhir remaja. Beberapa sifat penting pada masa ini adalah:
·         perhatiannya tertutup pada hal-hal realistis
·         mulai menyadari akan realitas
·         sikapnya mulai jelas tentang hidup
·         mulai nampak bakat dan minatnya
D.    Ciri-ciri remaja
Masa remaja adalah suatu masa perubahan. Pada masa remaja terjadi perubahan yang cepat baik secara fisik, maupun psikologis. Ada beberapa perubahan yang terjadi selama masa remaja.
  1. Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal dengan sebagai masa storm & stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya. Pada masa ini banyak tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya mereka diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, mereka harus lebih mandiri dan bertanggung jawab. Kemandirian dan tanggung jawab ini akan terbentuk seiring berjalannya waktu, dan akan nampak jelas pada remaja akhir yang duduk di awal-awal masa kuliah.
  2. Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan seksual. Terkadang perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan kemampuan mereka sendiri. Perubahan fisik yang terjadi secara cepat, baik perubahan internal seperti sistem sirkulasi, pencernaan, dan sistem respirasi maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja.
  3. Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain. Selama masa remaja banyak hal-hal yang menarik bagi dirinya dibawa dari masa kanak-kanak digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang. Hal ini juga dikarenakan adanya tanggung jawab yang lebih besar pada masa remaja, maka remaja diharapkan untuk dapat mengarahkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang sama, tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa.
  4. Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa.
  5. Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Di satu sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut akan tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan mereka sendiri untuk memikul tanggung jawab tersebut.
E.      Karakteristik Perkembangan Emosi Remaja
Masa remaja atau masa adolesensia merupakan masa peralihan atau masa transisi
antar masa anak ke masa dewasa. Pada masa ini menuntut seorang anak untuk meninggalkan sifat-sifat kekanak-kanakannya dan harus mempelajari pola-pola perilaku dan sikap-sikap baru untuk menggantikan dan meninggalkan pola-pola perilaku sebelumnya. Selama peralihan dalam periode ini, seringkali seseorang merasa bingung dan tidak jelas menangani peran yang dituntut oleh lingkungan. Misalnya, pada saat individu menampilkan perilaku anak-anak maka mereka akan diminta untuk berperilaku sesuai dengan usianya, namun pada kebalikannya jika individu mencoba untuk berperilaku seperti orang dewasa sering dikatakan bahwa mereka berperilaku terlalu dewasa untuk usianya.
Biasanya pada masa ini, energy mereka besar, emosi berkobar-kobar, sedangkan pengendalian diri belum sempurna, kadang para remaja sering mengalami rasa tidak aman, tidak tenang, khawatir, dan kesepian. Berikut garis besar tarf perkembangan remaja :

a. Periode Praremaja
Dalam periode ini, terjadi gejala-gejala yang hampir sama baik untuk pria maupun wanita. Perubahan fisik belum nyata, gerakan-gerakan mereka mulai kaku, serta adanya kepekaan terhadap rangsangan-rangsangan dari luar.

b. Periode Remaja Awal
Dalam periode ini, perubahan alat-alat kelamin fisik semakin nyata, maka terlihat bahwa anak-anak mempunyai kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan itu. Mereka banyak menyendiri dan terasing. Artinya mereka harus memilih antara berdiri sendiri atau menggantungkan diri pada orangtuanya.


c. Periode Remaja Tengah
Dalam periode ini, nilai-nilai sosial terbawa-bawa sebagai masalah, karena mereka mulai meragukan tentang apa yang disebut baik atau buruk dan ingin membentuk nilai mereka sendiri.

d. Periode Remaja Akhir
Dalam periode ini, remaja mulai memandang dirinya sebagai orang dewasa. Hubungannya dengan orang tua menjadi lebih mudah, emosinya pun mulai stabil, serta dapat bertanggungjawab. Periode ini berlangsung dari usia 18-21 tahun.

BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Masa remaja sebagai periode perkembangan yang paling penting bagi individu, pada kenyataannya merupakan suatu periode yang sarat dengan perubahan dan rentan munculnya masalah. Meskipun demikian adanya pemahaman yang baik serta penanganan yang tepat terhadap remaja merupakan faktor penting bagi keberhasilan remaja di kehidupan selanjutnya, mengingat masa ini merupakan masa yang paling menentukan.
Selain itu perlu adanya kerjasama dari remaja itu sendiri, orang tua, guru dan pihak-pihak lain yang terkait agar perkembangan remaja di bidang pendidikan dan bidang-bidang lainnya dapat dilalui secara terarah, sehat dan bahagia agar pada masa ini mereka dapat meninggalkan sifat-sifat kekanak-kanakannya dan harus mempelajari pola-pola perilaku dan sikap-sikap baru untuk menggantikan dan meninggalkan pola-pola perilaku sebelumnya. Selama peralihan dalam periode ini, seringkali seseorang merasa bingung dan tidak jelas menangani peran yang dituntut oleh lingkungan. Oleh karena itu perlu perhatian dan penanganan khusus bagi remaja dalam melewati masa ini.

B.            Saran
Pengawasan terhadap tingkah laku oleh orang dewasa sudah sulit dilakukan terhadap remaja karena lingkungan remaja sudah sangat luas. Pengasahan terhadap hati nurani sebagai pengendali internal perilaku remaja menjadi sangat penting agar remaja bisa mengendalikan perilakunya sendiri ketika tidak ada orang tua maupun guru dan segera menyadari serta memperbaiki diri ketika dia berbuat salah.
Dari beberapa bukti dan fakta tentang remaja, karakteristik dan permasalahan yang menyertainya, semoga dapat menjadi wacana bagi orang tua untuk lebih memahami karakteristik anak remaja mereka dan perubahan perilaku mereka. Perilaku mereka kini tentunya berbeda dari masa kanak-kanak. Hal ini terkadang yang menjadi stressor tersendiri bagi orang tua. Oleh karenanya, butuh tenaga dan kesabaran ekstra untuk benar-benar mempersiapkan remaja kita kelak menghadapi masa dewasanya.

DAFTAR PUSTAKA
Aaro, L.E. (1997). Adolescent lifestyle.Dalam A. Baum, S. Newman J. Weinman, R. West and C. McManus (Eds).Cambridge Handbook of Psychology, Health and Medicine (65-67). Cambridge University Press, Cambridge.
Beyth-Marom, R., Austin, L., Fischhoff, B., Palmgren, C., & Jacobs-Quadrel, M. (1993). Perceived consequences of risky behaviors: Adults and adolescents. Journal of Developmental Psychology, 29(3), 549-563
Deaux, K.,F.C,and Wrightman,L.S. (1993). Social psychology in the ‘90s (6th ed.). California : Brooks / Cole Publishing Company.
Gunarsa, S.D. (1988). Psikologi remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Gunarsa, S.D. (1990). Dasar dan teori perkembangan anak. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hurlock, E. B. (1990). Developmental psychology: a lifespan approach. Boston: McGraw-Hill.
Monks, F.J., Knoers, A. M. P., Haditono, S. R. (1991) Psikologi perkembangan : Pengantar dalam berbagai bagiannya (cetakan ke-7). Yogya: Gajah Mada University Press.
Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman, Ruth D. (2001).Human development (8th ed.). Boston: McGraw-Hill








Tidak ada komentar: